baner 15x12

Jamsostek untuk Abang Becak

MENARIK membaca petikan artikel di Indo Pos (Jawa Pos Group) 10 April 2010 bahwa 350 abang becak di Lhokseumawe, NAD, dalam waktu dekat mengantongi kartu jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek). Hal itu dimaksudkan agar mereka juga bisa merasakan pelayanan kesehatan melalui program jamsostek seperti halnya tenaga kerja yang bekerja di sektor formal.

Mengapa menarik? Sebab, selama ini, manfaat jamsostek hanya terasa bagi mereka yang bekerja di sektor formal. Padahal, pasal 1 UU No 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja menyebutkan, jaminan sosial tenaga kerja berlaku bagi tenaga kerja yang mampu melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.


Jamsostek diartikan sebagai suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal. Ruang lingkup program jamsostek meliputi jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, serta jaminan pemeliharaan kesehatan.

Bagi tenaga kerja di sektor formal dengan hubungan kerja yang jelas, apakah yang berstatus PNS, pekerja swasta, atau TNI-Polri, sebagian sudah terlindungi jaminan sosial, baik yang dikelola PT Askes, PT Taspen, PT Asabri, maupun PT Jamsostek. Tapi, bagaimana halnya dengan tenaga kerja di sektor informal seperti tukang becak, pedagang kaki lima, penjaja makanan keliling, dan sebagainya?

Contoh paling menarik adalah tragedi berdarah di Tanjung Priok pada 14 April 2010 yang menimbulkan korban meninggal dan luka-luka. Apakah korban tewas dan luka-luka pada tragedi tersebut terlindungi jamsostek atau asuransi sosial yang lain? Tampaknya tidak. Sebab, tidak semua petugas satpol PP dan warga yang mengalami luka-luka adalah pegawai negeri sipil (PNS) atau pekerja tetap di sektor swasta yang terlindungi Askes maupun Jamsostek.



Jaminan Sosial Adalah Hak


Di Indonesia, sistem jaminan sosial diamanatkan dalam pasal 28H ayat (3) UUD 1945. Disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak dasar untuk mendapatkan pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar hidupnya untuk mengembangkan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Pasal 34 ayat (2) UUD 45 menyebutkan, negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat serta memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai martabat kemanusiaan.

Di level nasional, pasal 22 Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal (DUHAM) 1948 menyebutkan, setiap orang sebagai anggota masyarakat memiliki hak atas jaminan sosial. Di dokumen yang sama, pasal 25, disebutkan bahwa setiap orang memiliki hak atas standar hidup yang layak di bidang kesehatan dan kesejahteraannya, termasuk dalam hal makanan, pakaian, perumahan, perawatan kesehatan, pelayanan sosial, dan jaminan keamanan ketika sedang tidak bekerja,sakit, menderita cacat, sebagai janda atau duda, di usia tua, dan segala situasi kurang menguntungkan yang lain di luar kemampuan yang bersangkutan.

Sementara itu, pasal 9 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic Social and Cultural Rights) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia dengan UU No 11 Tahun 2005 juga menyebutkan, setiap orang berhak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial (social insurance).

Karena itu, berdasar segenap landasan hukum tersebut, baik di level nasional maupun internasional, tak diragukan lagi bahwa jaminan sosial merupakan hak segenap rakyat. Tidak memandang mereka bekerja di sektor formal maupun informal, pekerja tetap atau tidak tetap, maupun outsourcing.


Peduli seperti Obama


Menarik menelaah alasan utama Presiden AS Barack Obama menunda kunjungannya ke Indonesia yang dijadwalkan pertengahan Maret silam. Yaitu, dia tengah memperjuangkan lahirnya Undang-Undang tentang Layanan Kesehatan (Health Reform Bill) di Kongres dan Senat AS.

Inti reformasi kesehatan yang diajukan Obama adalah memberikan perlindungan asuransi kesehatan bagi seluruh rakyat Amerika. Sebab, saat ini, ada sekitar 40 juta warga negara AS yang tak terlindungi asuransi kesehatan. Mereka tidak masuk kategori miskin, tapi juga tidak mampu membeli polis asuransi kesehatan swasta. Obama ingin merombak hal itu, sehingga tidak ada satu pun warga AS yang tak terlindungi asuransi kesehatan (Kartono Mohamad, Kompas 22/3/2010).

Dengan perkataan lain, UU itu memungkinkan seluruh rakyat AS memiliki akses yang lebih baik terhadap asuransi kesehatan dengan kualitas memadai. Rakyat AS akan terlindungi dari praktik asuransi yang buruk serta memungkinkan masyarakat atau usaha kecil dengan kantong tipis tetap bisa memperoleh layanan kesehatan dengan kualitas baik (A. Prasetyantoko, Warta Ekonomi No 07/XXII 2010).

Bagaimana halnya dengan pemerintah Indonesia dan para legislator di Senayan? Kapankah perkara jaminan sosial, termasuk jaminan kesehatan, menjadi isu serius, apalagi menjadi pertaruhan politik seperti halnya Obama mempertaruhkan kelangsungan pemerintahannya di hadapan partai oposisi (Republican) setelah lolosnya Health Reform Bill tersebut?

Landasan hukum untuk jaminan sosial yang melindungi seluruh rakyat Indonesia telah tersedia. Bahkan, belakangan lahir pula UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No 40 Tahun 2004, UU Kesejahteraan Sosial No 11 Tahun 2009, dan UU Kesehatan No 36 Tahun 2009.

Terkait dengan jaminan kesehatan, Undang-Undang SJSN nyata-nyata menegaskan bahwa jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasar prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Serta, peserta jaminan kesehatan adalah setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar pemerintah (pasal 19 dan 20 UU No 40 Tahun 2004). Alias, ketika rakyat tak sanggup membayar premi atau iuran asuransi sosial, iuran untuk mereka (fakir miskin dan orang yang tidak mampu) dibayar negara.

Salut untuk PT Jamsostek yang telah memulai pemberian kartu Jamsostek untuk abang becak di Lhokseumawe, NAD. Kendati para tukang becak tersebut masih membayar premi Rp 17.500/bulan kepada PT Jamsostek (alias tidak dibayarkan pemerintah), semangat untuk merangkul dan melindungi kelompok marginal yang bekerja di sektor informal dan bukan pekerja tetap kantoran tersebut patut diacungi jempol.

Semoga, kepedulian itu menjalar ke para legislator dan seluruh aparat pemerintah dan masyarakat, terutama yang bekerja di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan para pelaku usaha. (*)




*). Heru Susetyo

, pengajar hukum dan kesejahteraan sosial Fakultas Hukum Universitas Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered By Blogger | Portal Design By sugenk ponorogo © 2009 | Resolution: 1024x768px | Best View: Firefox | Top